Minggu, 29 Maret 2015

HUBUNGAN STRUKTUR, KELARUTAN DAN AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT

  Sifat kelarutan pada umumnya berhubungan dengan kelarutan senyawa dalam media yang berbeda dan bervariasi diantara dua hal yang ekstrem, yaitu pelarut polar, seperti air, dan pelarut nonpolar seperti lemak. Sifat hidrofilik atau lipofobik berhubungan dengan kelarutan dalam air, sedang sifat lipofilik atau hidrofobik berhubungan dengan kelarutan dalam lemak. Gugus-gugus yang dapat meningkatkan kelarutan molekul dalam air disebut gugus hidrofilik (lipofobik atau polar), sedang gugus yang dapat meningkatkan kelarutan molekul dalam lemak disebut gugus lipofilik (hidrofobik atau nonpolar).
       Contoh gugus hidrofilik dan lipofilik dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Gugus hidrofilik dan lipofilik
Sifat
Gugus
Hidofilik (makin ke kanan makin menurun)
Kuat
-OSO2ONa, -COONa, -SO2Na, -OSO2H
Sedang
-OH, SH, -O-, =C=O, -CHO, -NO2, -NH2, -NHR, -NR2, -CN, -CNS, -COOH, -COOR, -OPO3H2, -OS2O2H
Ikatan tak jenuh
-CΞCH, -CH=CH2
Lipofilik
Rantai hidrokarbon alifatik, alkil, aril, hidrokarbon, polisiklik

       Gugus halogen memiliki sifat yang khas, walaupun mempunyai efek elektronegatif relatif kuat tetapi bila disubtitusikan pada cincin aromatik akan bersifat lipofilik. Substitusi pada rantai alifatik gugus –I, -Br, dan –Cl akan bersifat lipofilik, sedang gugus F bersifat hidrofilik.

Hubungan sifat hidrofilik dan lipofilik dari senyawa dapat dilihat pada Gambar 26.

Sifat kelarutan pada umumnya berhubungan dengan aktivitas biologis dari senyawa seri homolog. Sifat kelarutan juga berhubungan erat dengan proses absorpsi obat. Hal ini penting karena intensitas aktivitas biologis obat tergantung pada derajat absorpsinya.
       Overton (1901), mengemukakan konsep bahwa kelarutan senyawa organik dalam lemak berhubungan dengan mudah atau tidaknya penembusan membran sel. Senyawa nonpolar bersifat mudah larut dalam lemak, mempunyai nilai koefisien partisi lemak/air besar sehingga mudah menembus membran sel secara difusi pasif. Peran koefisien partisi terhadap absorpsi obat turunan barbiturat dapat dilihat pada Gambar 27.
       Pada Gambar 27 terlihat bahwa makin besar nilai koefisien partisi (P) kloroform/air dari bentuk tak terionisasi turunan barbiturat, makin besar persentase obat yang diabsorpsi.
       Contoh hubungan sifat kelarutan dalam lemak yang dinyatakan dengan kelarutan dalam kloroform dan aktivitas biologis turunan isatin-β-tiosemikarbazon dapat dilihat pada Tabel 7.

       Pada Tabel 7 terlihat bahwa makin meningkat sifat kelarutan dalam kloroform dari turunan isatin-β-tiosemikarbason makin meningkat aktivitas antivirusnya, oleh karena makin besar kelarutan dalam lemak makin mudah senyawa menembus membran sel virus.

Gambar 27. Hubungan koefisien partisi lemak/air (P) terhadap absorpsi bentuk tak terionisasi beberapa obat turunan barbiturat

 
Tabel 7. Hubungan sifat kelarutan dalam lemak dan aktivitas antivirus turunan isatin-β-tiosemikarbason

Substituen (R)
Kelarutan dalam Kloroform
Aktivitas antivirus relatif
7-COOH
5-OCH3
4-CH3
4-Cl
6-F
7-Cl
Tidak tersusbtitusi
0
3
8
10
16
29
32
0
0,03
3,4
8,6
39,8
85
100

A.        AKTIVITAS BIOLOGIS SENYAWA SERI HOMOLOG
Pada beberapa seri homolog senyawa sukar terdisosiasi, yang perbedaan struktur hanya menyangkut perbedaan jumlah dan panjang rantai atom C, intensitas aktivitas biologisnya tergantung pada jumlah atom C.
Contoh senyawa semi homolog:
1.        n-Alkohol, alkilresorsinol, alkilfenol dan alkilkresol (antibakteri).
2.      Ester asam para-aminobenzoat (anestesi setempat).
3.      Alkil 4,4’-stilbenediol (hormon estrogen).
Makin panjang rantai samping atom C, makin bertambah bagian molekul yang bersifat non polar dan terjadi perubahan sifat fisik, seperti kenaikan titik didih, berkurangnya kelarutan dalam air, meningkatnya koefisien partisi lemak/air, tegangan permukaan dan kekentalan. Perubahan sifat fisik ini diikuti dengan peningkatan aktivitas biologis sampai tercapai aktivitas maksimum. Bila pangjang rantai atom C terus ditingkatkan akan terjadi penurunan aktivitas sacra drastis. Hal ini disebabkan dengan makin bertambah jumlah atom C, makin berkurang kelarutan senyawa dalam air, yang berarti kelarutan dalam cairan luar sel juga berkurang, sedang kelarutan senyawa dalam cairan luar sel berhubungan dengan proses transpor obat ke tempat aksi atau reseptor. Oleh karena itu kelarutan dan koefisien partisi lemak/air merupakan sifat fisik penting senyawa seri homolog untuk menghasilkan aktivitas biologis.
Hal di atas digambarkan dalam bentuk grafik oleh Ferguson, dengan memplot log kadar toksik terhadap dua mikroorganisme dan log kelarutan dari n-alkohol, seperti yang terlihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Hubungan kelarutan dan aktivitas anti bakteri n-alkohol primer terhadap kuman Bacillus typhosus (A) dan Staphylococcus aureus (B). C adalah garis kejenuhan.

Hubungan jumlah atom C dgn aktivitas antibakteri seri homolog n-alifatis alkohol

         Dari grafik pada Gambar 28 terlihat adanya “garis kejenuhan” (C). senyawa di bawah “garis kejenuhan” menunjukkan bahwa pada kadar tersebut larutan jenuhnya dapat menimbulkan efek antibakteri, sedang di atas “garis kejenuhan” senyawa tidak mempunyai kelarutan yang cukup untuk memberikan efek bakterisid.
        Titik potong antara garis aktivitas senyawa seri homolog dan “garis kejenuhan” tergantung pula pada daya tahan bakteri. Bakteri yang lebih kebal (resisten) memerlukan kadar senyawa yang lebih tinggi untuk membunuhnya, sehingga titik potong terjadi lebih awal.
Contoh seri homolog :
1.          Seri homolog n-alkohol
Seri homolog n-alifatik alkohol primer, pada jumlah atom C1-C7 menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap Bacillus thyposus yang semakin meningkat dan mencapai maksimum pada jumlah atom C = 8 (oktanol). Hal ini disebabkan makin panjang rantai atom C, makin bertambah bagian molekul yang bersifat non polar, koefisien partisi lemak/air meningkat, penembusan senyawa ke dalam membran bakteri meningkat, sehingga aktivitas antibakteri juga meningkat, sampai tercapai aktivitas maksimum.
     Pada jumlah atom C lebih besar 8, aktivitas menurun secara drastis. Hal ini disebabkan senyawa mempunyai kelarutan dalam air sangat kecil, yang berati senyawa praktis tidak larut dalam cairan luar sel, sedang kelarutan senyawa dalam cairan luar selberhubungan dengan proses transpor obat ke tempat aksi atau reseptor.
     Terhadap Staphylococcus aureus aktivitas mencapai maksimum pada jumlah atom C = 5 (amilalkohol).
     Rantai alkohol yang bercabang, seperti alkohol sekunder dan tersier, mempunyai kelarutan dalam air lebih besar, nilai koefisien partisi lemak/air lebih rendah dibanding alkohol primer sehingga aktivitas antibakterinya lebih kecil. Contoh : aktivitas n-heksanol 2 kali lebih besar dibanding heksanol tersier.
     Adanya ikatan rangkap dapat meningkatkan kelarutan dalam airdan menurunkan aktivitas antibakteri. Alkohol dengan berat molekul besar, seperti setilalkohol, praktis tidak larut dalam air sehingga tidak berkhasiat sebagai antibakteri.
2.        Seri homolog 4-n-alkilresorsinol
Aktivitas antibakteriseri homolog 4-nalkilresorsinol terhadap Bacillus typhosus mencapai maksimum pada jumlah atom C = 6, yaitu 4-n-heksilresorsinol (Gambar 29), sedang terhadap Staphylococcus aureus aktivitas mencapai maksimum pada jumlah atom C = 9 (4-n-nonil-resorsinol). Hal tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan sensitivitas dari senyawa seri homolog terhadap kuman yang berbeda.
3.        Seri homolog ester asam para-hidroksibenzoat
Hubungan perubahan struktur seri homolog ester asam para-hidroksibenzoat (PHB), koefisien partisi lemak/air dan aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Tabel 8.
Gambar 29. Aktivitas antibakteri seri homolog 4-n-alkilresorsinol terhadap Bacillus typhosus.

Tabel 8. Hubungan Struktur seri homolog ester asam para-hidroksibenzoat dengan nilai koefisien partisi lemak/air dan aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus
Ester PHB
Koefisien Partisi
Koefisien Fenol terhadap Staphylococcus aureus
Metil
1,2
2,6
Etil
3,4
7,1
n-Propil
13
15
Isopropil
7,3
13
Alil
7,6
12
n-Butil
17
37
Benzil
119
83

       Dari Tabel 8 terlihat bahwa turunan isopropil dan alil mempunyai koefisien fenol yang lebih rendah dibanding turunan n-propil, karena adanya percabangan dan ikatan rangkap akan menurunkan nilai koefisien partisi lemak/air, penembusan membran bakteri jadi menurun, sehingga aktivitas antibakterinya juga menurun. Juga terlihat bahwa makin besar nilai koefisien partisi lemak/air, makin meningkat aktivitas antibakteri senyawa, dan belum mencapai keadaan optimum.
A.        HUBUNGAN KOEFISIEN PARTISI DENGAN EFEK ANESTESI SISTEMIK
Koefisien partisi pertama kali dihubungkan dengan aktivitas biologis, yaitu efek hipnotik dan anestesi, obat-obat penekan sistem saraf pusat oleh Overton dan Meyer (1899).
       Mereka memberikan tiga postulat yang berhubungan dengan efek anestesi suatu senyawa, yang dikenal dengan teori lemak, sebagai berikut :
a.        Senyawa kimia yang reaktif dan mudah larut dalam lemak, seperti eter, hidrokarbon dan hidrokarbon terhalogenasi, dapat memberikan efek narkosis pada jaringan hidup sesuai dengan kemampuannya untuk terdistribusi ke dalam jaringan sel.
b.        Efek terlihat jelas terutama pada sel-sel yang banyak mengandung lemak, seperti sel saraf.
c.      Efisiensi anestesi atau hipnotik tergantung pada koefisien partisi lemak/air atau distribusi senyawa dalam fasa lemak dan fasa air jaringan.
Dari postulat di atas disimpulkan bahwa ada hubungan antara aktivitas anestesi dengan koefisien partisi lemak/air. Teori lemak hanya mengemukakan afinitas suatu senyawa terhadpa tempat aksi saja dan tidak menunjukkan bagaimana mekanisme kerja biologisnya dan juga tidak dapat menjelaskan mengapa suatu senyawa yang mempunyai koefisien partisi lemak/air tidak terlalu dapat menimbulkan efek anestesi.
Teori anestesi di atas kemudian dilengkapi dengan teori-teori anestesi sistemik lain, yang berdasarkan sifat fisik yang lain yairu ukuran molekul (teori Wulf-Featherstone) dan pembentukan mikrokristal (teori Pauling).

B.        PRINSIP FERGUSON
Banyak senyawa kimia dengan struktur berbeda tetapi mempunyai sifat fisik sama, seperti ester, kloroform dan nitrogen oksida, dapat menimbulkan efek narkosis atau anestesi sistemik. Hal ini menunjukkan bahwa sifat fisik lebih berperan dibanding sifat kimia.
Dari percobaan diketahui bahwa efek anestesi cepat terjadi dan dipertahankan pada tingkat yang sama asalkan ada cadangan obat dalam cairan tubuh. Bila cadangan tersebut habis maka efek anestesi segera berakhir. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada keseimbangan kadar obat pada fasa eksternal atau cairan luar sel dan biofasa, yaitu fasa pada tempat aksi obat dalam organisme. Pada banyak senyawa seri homolog aktivitas akan meningkat sesuai dengan kenaikan jumlah atom C.
Fuhner (1904), mendapatkan bahwa untuk mencapai aktivitas sama, anggota seri homolog yang lebih tinggi memerlukan kadar lebih rendah, sesuai persamaan deret ukur sebagai berikut :
1/31, 1/32, 1/33, ......... 1/3n
Hal tersebut terjadi pada seri homolog obat penekan sistem saraf pusat, seperti turunan alkohol, keton, amin, ester, uretan dan hidrokarbon.
Perubahan sifat fisik tertentu dari suatu seri homolog, seperti tekanan uap, kelarutan dalam air, tegangan permukaan dan distribusi dalam pelarut yang saling tidak campur, kadang-kadang juga sesuai dengan deret ukur.
Nilai logaritma sifat-sifat fisik n-alkohol primer bila dihubungkan dengan jumlah atom C ternyata memberikan hubungan yang linier dan hal ini dapat dilihat pada Gambar 30.
Menurut Ferguson, kadar molar toksik sangat ditentukan oleh keseimbangan distribusi pada fasa-fasa yang heterogen, yaitu fasa eksternal, yang kadar senyawanya dapat diukur, dan biofasa. Ferguson menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu menentukan kadar obat dalam biofasa atau reseptor karena pada keadaan kesetimbangan kecenderungan obat untuk meninggalkan biofasa dan fasa eksternal adalah sama, walaupun kadar obat dalam masing-masing fasa mungkin berbeda. Kecenderungan obat untuk meninggalkan fasa disebut aktivitas termodinamik.
Untuk menjelaskan kecenderungan obat dalam meninggalkan biofasa dan fasa eksternal, derajat kejenuhan masing-masing fasa merupakan pendekatan yang cukup beralasan.






















Keterangan :
1.           Kelarutan dalam air (mol x 10-6/l)
2.         Kadar toksis terhadap Bacillus typhosus (mol x 10-6/l)
3.         Kadar yang diperlukan untuk menurunkan tegangan permukaan air menjadi 50 dynes/cm (mol x 10-6/l)
4.         Tekanan uap pada 25°C (mm x 104)

5.         Koefisien partisi air/minyak biji kapas ( x 10-3)
Gambar 30. Hubungan sifat-sifat n-alkohol primer dengan jumlah atom C.

Aktivitas termodinamik (a) dari obat yang berupa gas atau uap dapat dihitung melalui persamaan sebagai berikut :
a = Pt/Ps
Pt   :  tekanan parsial senyawa dalam larutan, yang diperlukan untuk menimbulkan efek biologis.
Ps   :  tekanan uap jenuh senyawa.
       Aktivitas termodinamik (a) dari obat yang berupa larutan dapat dihitung melalui persamaan sebagai berikut :
a = St/So
St    :  kadar molar senyawa yang diperlukan untuk menimbulkan efek biologis.
So   :  kelarutan senyawa.
Karena harga Ps dan So tetap maka dimungkinkan untuk menentukan dan mengamati perubahan Pt dan St. Bila senyawa memiliki tekanan parsial tinggi atas kadar dalam fasa eksternal tinggi maka perbandingan Pt/Ps ataun St/So besar, biasanya berkisar antara 1-0,01, hal ini berarti bahwa senyawa didistribusikan ke seluruh organisme tanpa diikat secara tetap dalam sel dan keseimbangan terjadi pada fasa eksternal dan biofasa.
Demikian pula sebaliknya bila perbandingan Pt/Ps ataun St/So rendah, biasanya kurang dari 0,01, senyawa akan terikat pada reseptor tertentu dalam sel organisme dan keseimbangan antara obat dan reseptor terjadi pada sel atau di dalamnya.
Contoh hubungan penghambatan enzim suksinat dehidrogenase oleh beberapa senyawa dengan aktivitas termodinamik dapat dilihat pada Tabel 9.
Pada Tabel 9 terlihat bahwa senyawa 1 sampai 4, menunjukkan aktivitas termodinamik yang lebih besar dari 0,01, dan aktivitas biologis dihasilkan oleh sifat kimia fisika tertentu dari senyawa dan struktur senyawa bersifat tidak spesifik.
Tabel 9. Penghambatan enzim suksinat dehidrogenase dan aktivitas termodinamik
Senyawa
Kadar molar yang menyebabkan penghambatan 50% masukan oksigen
Aktivitas termodinamik
1.        Etiluretan
0,65
0,117
2.      Feniluretan
0,003
0,20
3.      Propionitril
0,48
0,24
4.      Valeronitril
0,08
0,36
5.      Vanilin
0,011
0,0002

       Vanilin mempunyai nilai aktivitas termodinamik sangat rendah, lebih kecil dari 0,01, dan diduga aktivitas biologisnya dihasilkan oleh struktur kimia obat yang spesifik.
       Berdasarkan model kerja farmakologisnya, secara umum obat dibagi menjadi dua golongan yaitu senyawa berstruktur tidak spesifik dan senyawa berstruktur spesifik.
1.          Senyawa Berstruktur Tidak Spesifik
Senyawa berstruktur tidak spesifik adalah senyawa dengan strutkur kimia bervariasi, tidak berinteraksi dengan reseptor spesifik, dan aktivitas biologisnya tidak secara langsung dipengaruhi oleh struktur kimia tetapi lebih dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia fisika, seperti derajat ionisasi, kelarutan, aktivitas termodinamik, tegangan permukaan dan redoks potensial. Terlihat bahwa efek biologis terjadi karena akumulasi obat pada daerah yang penting dari sel sehingga menyebabkan ketidakteraturan rantai proses metabolisme.
Senyawa berstruktur tidak spesifik menunjukkan aktivitas fisik dengan karakteristik sebagai berikut :
a.        Efek biologis berhubungan langsung dengan aktivitas termodinamik, dan memerlukan dosis yang relatif besar.
b.        Walaupun perbedaan struktur kimia besar, asal aktivitas termodinamik hampir sama akan memberikan efek yang sama.
c.        Ada kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal.
d.        Bila terjadi kesetimbangan, aktivitas termodinamik masing-masing fasa harus sama.
e.        Pengukuran aktivitas termodinamik pada fasa eksternal juga mencerminkan aktivitas termodinamik biofasa.
f.          Senyawa dengan derajat kejenuhan sama, mempunyai aktivitas termodinamik sama sehingga derajat efek biologis sama pula. Oleh karena itu larutan jenuh dari senyawa dengan struktur yang berbeda dapat memberikan efek biologis sama.
Contoh senyawa berstruktur tidak spesifik :
1.          Obat anestesi sistemik yang berupa gas atau uap, seperti etil klorida, asetilen, nitrogen oksida, eter dan kloroform. Kadar isoanestesi bervariasi antara 0,05-100% sedang aktivitas termodinamik variasinya berkisar antara 0,01-0,05, seperti terlihat pada Tabel 10.
2.        Insektisida yang mudah menguap dan bakterisida tertentu seperti timol, fenol, kresol, n-alkohol dan resorsinol.
Contoh hubungan kadar bakterisid dari beberapa insektisida yang mudah menguap terhadap Salmonella typhosa dengan aktivitas termodinamik dapat dilihat pada Tabel 11. Pada Tabel 11 terlihat bahwa seri homolog n-alkohol primer, kadar antibakteri dari metanol sampai oktanol berkisar antara 10,8-0,0034 molar sedang aktivitas termodinamiknya berkisar antara 0,33-0,88.

Tabel 10. Hubungan kadar isoanestesi beberapa obat anestesi, yang berupa uap atau gas, dengan aktivitas termodinamik, pada manusia (pada suhu 37°C)
Nama Gas/Uap
P uap (Ps) mm.
Kadar Anestesi (% vol)
P parsial (Pt) mm.
(a)   (Pt/Ps)
Nitrogen oksida
Etilen
Asetilen
Etil klorida
Etil eter
Vinil klorida
Etil bromida
Kloroform
59.300
49.500
51.700
1.780
830
760
725
324
100
80
65
5
5
4
1,9
0,5
760
610
495
38
38
30
14
4
0,01
0,01
0,01
0,02
0,05
0,01
0,02
0,01

Tabel 11. Hubungan kadar bakterisid beberapa insektisida yang mudah menguap terhadap Salmonella typhosa dengan aktivitas termodinamik
Nama Obat
Kadar Bakterisid (St), molar
Kelarutan (So) molar, 25°C
(a)   (St/So)
Timol
Oktanol
o-Kresol
Fenol
Anilin
Sikloheksanol
Metilpropilketon
Metiletilketon
Butiraldehid
Propaldehid
Resorsinol
Aseton
Metanol
0,0022
0,0034
0,039
0,097
0,17
0,18
0,39
1,25
0,39
1,08
3,09
3,89
10,8
0,0057
0,004
0,23
0,90
0,40
0,38
0,70
3,13
0,51
2,88
6,08
-
-
0,38
0,88
0,17
0,11
0,44
0,47
0,56
0,40
0,76
0,37
0,54
0,40
0,33

Dengan membandingkan nilai St dan So dari metanol dan oktanol dapat diketahui bahwa obat yang aktivitasnya tinggi mempunyai kelarutan dalam air rendah atau kelarutan dalam lemak besar.

2.    Senyawa Berstruktur Spesifik
     Senyawa berstruktur spesifik adalah senyawa yang memberikan efeknya dengan mengikat reseptor atau aseptor yang spesifik.
       Mekanisme kerjanya dapat melalui salah satu cara berikut yaitu :
a.      Bekerja pada enzim, yaitu dengan cara pengaktifan, penghambatan atau pengaktifan kembali enzim-enzim tubuh.
b.      Antagonis, yaitu antagonis kimia, fungsional, farmakologis atau antagonis metabolik.
c.      Menekan fungsi gen, yaitu dengan menghambat biosintesis asam nukleat atau sintesis protein.
d.      Bekerja pada membran, yaitu dengan mengubah membran sel dan mempengaruhi sistem transpor membran sel.
Aktivitas biologis senyawa berstruktur spesifik tidak tergantung pada aktivitas termodinamik, nilai a lebih kecil dari 0,01, tetapi lebih tergantung pada struktur kimia yang spesifik.
Kereaktifan kimia, bentuk, ukuran, dan pengaturan stereokimia molekul, distribusi gugus fungsional, efek induksi dan resonansi, distribusi elektronik dan interaksi dengan reseptor mempunyai peran yang menentukan untuk terjadinya aktivitas biologis.
Senyawa berstruktur spesifik mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a.      Efektif pada kadar yang rendah.
b.      Melibatkan kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal.
c.      Melibatkan ikatan-ikatan kimia yang lebih kuat dibanding ikatan pada senyawa yang berstruktur tidak spesifik.
d.      Pada keadaan kesetimbangan aktivitas biiologisnya maksimal.
e.      Sifat fisik dan kimia sama-sama berperan dalam menentukan efek biologis.
f.        Secara umum mempunyai struktur dasar karakteristik yang bertanggung jawab terhadap efek biologis senyawa analog.
g.      Sedikit perubahan struktur dapat mempengaruhi secara drastis aktivitas biologis obat.
       Contoh obat berstruktur spesifik antara lain : analgesik (morfin), antihistamin (difenhidramin), diuretika penghambat monoamin oksidase (asetazolamid) dan β-adrenergik (salbutamol).
       Pada senyawa berstruktur spesifik sedikit perubahan struktur kimia dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologisnya.
Contoh :
1.          Senyawa Kolinergik

2.          Turunan feniletilamin
3.          Obat antikanker turunan pirimidin

Perbedaan antara senyawa berstruktur spesifik dan non spesifik tidak cukup dipandang dari satu atau dua perbedaan karakteristik senyawa tetapi harus dipandang sifat atau karakteristik secara keseluruhan.
Sering pada obat tertentu tidak mempunyai struktur yang mirip tetapi menunjukkan efek farmakologis yang sama, dan perubahan sedikit struktur tidak mempengaruhi efek.
Sebagai contoh adalah obat diuretik yang mempunyai struktur kimia sangat bervariasi, contoh turunan merkuri organik, turunan sulfamid, turunan tiazid, dan spironolakton. Sedikit modifikasi struktur tidak mempengaruhi aktivitas diuretikdari masing-masing turunan. Ini merupakan salah satu karakteristik dari senyawa berstruktur tidak spesifik, padahal kenyataannya obat diuretik termasuk golongan senyawa berstruktur spesifik. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa obat diuretik menghasilkan respons farmakologis yang sama tetapi masing-masing turunan mempengaruhi proses biokimia yang berbeda, jadi mekanisme aksinya berbeda.


Turunan merkuri organik, seperti klormerodrin, bekerja sebagai diuretik dengan mengikat gugus SH enzim Na, K-dependent ATP-ase, yang bertanggung jawab terhadap produksi energi yang diperlukan untuk reabsorpsi Na di membran tubulus, turunan sulfamid, seperti asetazolamid, bekerja dengan menghambat enzim karbonik anhidrase, turunan tiazid, seperti hidriklorotiazid, menghambat reabsorpsi Na di tubulus ginjal, dan spironolakton bekerja sebagai antagonisaldosteron, senyawa yang mengatur keseimbangan elektrolit dalam tubuh.
       Fenomena di atas menunjang pengertian bahwa mekanisme aksi obat pada tingkat molekul dapat melalui beberapa jalan, dan ini memberi penjelasan mengapa obat dengan tipe struktur berbeda dapat menunjukkan respons farmakologis yang sama. Sebenarnya sulit memisahkan antara senyawa berstruktur tidak spesifik dan spesifik karena banyak senyawa yang berstruktur spesifik, seperti antibiotika turunan penisilin, tidak berinteraksi secara spesifik dengan reseptor pada tubuh manusia, tetapi berinteraksi dengan reseptor spesifik yang terlibat pada proses pembentukan dinding sel bakteri. Jadi aktivitas antibakterinya terutama ditentukan oleh sifat kimia fisika seperti sifat lipofilik dan elektronik yang berperan pada proses distribusi obat sehingga senyawa dapat mencapai jaringan target dengan kadar yang cukup besar.


Daftar Pustaka
Siswandono dan Bambang, S. 2000. Kimia Medisinal. Airlangga University Press: Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar