Sifat kelarutan pada umumnya berhubungan dengan kelarutan senyawa dalam media yang berbeda dan bervariasi diantara dua hal yang ekstrem, yaitu pelarut polar, seperti air, dan pelarut nonpolar seperti lemak. Sifat hidrofilik atau lipofobik berhubungan dengan kelarutan dalam air, sedang sifat lipofilik atau hidrofobik berhubungan dengan kelarutan dalam lemak. Gugus-gugus yang dapat meningkatkan kelarutan molekul dalam air disebut gugus hidrofilik (lipofobik atau polar), sedang gugus yang dapat meningkatkan kelarutan molekul dalam lemak disebut gugus lipofilik (hidrofobik atau nonpolar).
Contoh gugus hidrofilik dan lipofilik dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Gugus hidrofilik dan lipofilik
Sifat
|
Gugus
| |
Hidofilik (makin ke kanan makin menurun)
|
Kuat
|
-OSO2ONa, -COONa, -SO2Na, -OSO2H
|
Sedang
|
-OH, SH, -O-, =C=O, -CHO, -NO2, -NH2, -NHR, -NR2, -CN, -CNS, -COOH, -COOR, -OPO3H2, -OS2O2H
| |
Ikatan tak jenuh
|
-CΞCH, -CH=CH2
| |
Lipofilik
|
Rantai hidrokarbon alifatik, alkil, aril, hidrokarbon, polisiklik
|
Gugus halogen memiliki sifat yang khas, walaupun mempunyai efek elektronegatif relatif kuat tetapi bila disubtitusikan pada cincin aromatik akan bersifat lipofilik. Substitusi pada rantai alifatik gugus –I, -Br, dan –Cl akan bersifat lipofilik, sedang gugus F bersifat hidrofilik.
Hubungan sifat hidrofilik dan lipofilik dari senyawa dapat dilihat pada Gambar 26.
Sifat kelarutan pada
umumnya berhubungan dengan aktivitas biologis dari senyawa seri homolog. Sifat
kelarutan juga berhubungan erat dengan proses absorpsi obat. Hal ini penting
karena intensitas aktivitas biologis obat tergantung pada derajat absorpsinya.
Overton (1901),
mengemukakan konsep bahwa kelarutan senyawa organik dalam lemak berhubungan
dengan mudah atau tidaknya penembusan membran sel. Senyawa nonpolar bersifat
mudah larut dalam lemak, mempunyai nilai koefisien partisi lemak/air besar
sehingga mudah menembus membran sel secara difusi pasif. Peran koefisien
partisi terhadap absorpsi obat turunan barbiturat dapat dilihat pada Gambar 27.
Pada Gambar 27 terlihat bahwa makin besar nilai koefisien
partisi (P) kloroform/air dari bentuk tak terionisasi turunan barbiturat, makin
besar persentase obat yang diabsorpsi.
Contoh hubungan sifat kelarutan dalam lemak yang dinyatakan
dengan kelarutan dalam kloroform dan aktivitas biologis turunan isatin-β-tiosemikarbazon dapat dilihat pada Tabel
7.
Pada Tabel 7 terlihat bahwa makin meningkat sifat kelarutan
dalam kloroform dari turunan isatin-β-tiosemikarbason
makin meningkat aktivitas antivirusnya, oleh karena makin besar kelarutan dalam
lemak makin mudah senyawa menembus membran sel virus.
Gambar
27. Hubungan
koefisien partisi lemak/air (P) terhadap absorpsi bentuk tak terionisasi
beberapa obat turunan barbiturat
Tabel
7. Hubungan
sifat kelarutan dalam lemak dan aktivitas antivirus turunan isatin-β-tiosemikarbason
Substituen
(R)
|
Kelarutan
dalam Kloroform
|
Aktivitas
antivirus relatif
|
7-COOH
5-OCH3
4-CH3
4-Cl
6-F
7-Cl
Tidak
tersusbtitusi
|
0
3
8
10
16
29
32
|
0
0,03
3,4
8,6
39,8
85
100
|
A.
AKTIVITAS
BIOLOGIS SENYAWA SERI HOMOLOG
Pada
beberapa seri homolog senyawa sukar terdisosiasi, yang perbedaan struktur hanya
menyangkut perbedaan jumlah dan panjang rantai atom C, intensitas aktivitas
biologisnya tergantung pada jumlah atom C.
Contoh
senyawa semi homolog:
1.
n-Alkohol, alkilresorsinol, alkilfenol
dan alkilkresol (antibakteri).
2.
Ester asam para-aminobenzoat (anestesi
setempat).
3.
Alkil 4,4’-stilbenediol (hormon
estrogen).
Makin panjang rantai
samping atom C, makin bertambah bagian molekul yang bersifat non polar dan
terjadi perubahan sifat fisik, seperti kenaikan titik didih, berkurangnya
kelarutan dalam air, meningkatnya koefisien partisi lemak/air, tegangan
permukaan dan kekentalan. Perubahan sifat fisik ini diikuti dengan peningkatan
aktivitas biologis sampai tercapai aktivitas maksimum. Bila pangjang rantai
atom C terus ditingkatkan akan terjadi penurunan aktivitas sacra drastis. Hal
ini disebabkan dengan makin bertambah jumlah atom C, makin berkurang kelarutan
senyawa dalam air, yang berarti kelarutan dalam cairan luar sel juga berkurang,
sedang kelarutan senyawa dalam cairan luar sel berhubungan dengan proses
transpor obat ke tempat aksi atau reseptor. Oleh karena itu kelarutan dan
koefisien partisi lemak/air merupakan sifat fisik penting senyawa seri homolog
untuk menghasilkan aktivitas biologis.
Hal di atas digambarkan
dalam bentuk grafik oleh Ferguson,
dengan memplot log kadar toksik terhadap dua mikroorganisme dan log kelarutan
dari n-alkohol, seperti yang terlihat pada Gambar 28.
Gambar
28. Hubungan
kelarutan dan aktivitas anti bakteri n-alkohol primer terhadap kuman Bacillus typhosus (A) dan Staphylococcus aureus (B). C adalah
garis kejenuhan.
Hubungan jumlah atom C
dgn aktivitas antibakteri seri homolog n-alifatis alkohol
Dari grafik pada Gambar
28 terlihat adanya “garis kejenuhan” (C). senyawa di bawah “garis kejenuhan”
menunjukkan bahwa pada kadar tersebut larutan jenuhnya dapat menimbulkan efek
antibakteri, sedang di atas “garis kejenuhan” senyawa tidak mempunyai kelarutan
yang cukup untuk memberikan efek bakterisid.
Titik potong antara
garis aktivitas senyawa seri homolog dan “garis kejenuhan” tergantung pula pada
daya tahan bakteri. Bakteri yang lebih kebal (resisten) memerlukan kadar
senyawa yang lebih tinggi untuk membunuhnya, sehingga titik potong terjadi
lebih awal.
Contoh seri homolog :
1.
Seri
homolog n-alkohol
Seri homolog
n-alifatik alkohol primer, pada jumlah atom C1-C7
menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap Bacillus
thyposus yang semakin meningkat dan mencapai maksimum pada jumlah atom C =
8 (oktanol). Hal ini disebabkan makin panjang rantai atom C, makin bertambah
bagian molekul yang bersifat non polar, koefisien partisi lemak/air meningkat,
penembusan senyawa ke dalam membran bakteri meningkat, sehingga aktivitas antibakteri
juga meningkat, sampai tercapai aktivitas maksimum.
Pada
jumlah atom C lebih besar 8, aktivitas menurun secara drastis. Hal ini
disebabkan senyawa mempunyai kelarutan dalam air sangat kecil, yang berati
senyawa praktis tidak larut dalam cairan luar sel, sedang kelarutan senyawa
dalam cairan luar selberhubungan dengan proses transpor obat ke tempat aksi
atau reseptor.
Terhadap
Staphylococcus aureus aktivitas
mencapai maksimum pada jumlah atom C = 5 (amilalkohol).
Rantai
alkohol yang bercabang, seperti alkohol sekunder dan tersier, mempunyai
kelarutan dalam air lebih besar, nilai koefisien partisi lemak/air lebih rendah
dibanding alkohol primer sehingga aktivitas antibakterinya lebih kecil. Contoh
: aktivitas n-heksanol 2 kali lebih besar dibanding heksanol tersier.
Adanya
ikatan rangkap dapat meningkatkan kelarutan dalam airdan menurunkan aktivitas
antibakteri. Alkohol dengan berat molekul besar, seperti setilalkohol, praktis
tidak larut dalam air sehingga tidak berkhasiat sebagai antibakteri.
2.
Seri
homolog 4-n-alkilresorsinol
Aktivitas
antibakteriseri homolog 4-nalkilresorsinol terhadap Bacillus typhosus mencapai maksimum pada jumlah atom C = 6, yaitu
4-n-heksilresorsinol (Gambar 29), sedang terhadap Staphylococcus aureus aktivitas mencapai maksimum pada jumlah atom
C = 9 (4-n-nonil-resorsinol). Hal tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan
sensitivitas dari senyawa seri homolog terhadap kuman yang berbeda.
3.
Seri
homolog ester asam para-hidroksibenzoat
Hubungan
perubahan struktur seri homolog ester asam para-hidroksibenzoat (PHB),
koefisien partisi lemak/air dan aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dapat dilihat pada
Tabel 8.
Gambar
29. Aktivitas
antibakteri seri homolog 4-n-alkilresorsinol terhadap Bacillus typhosus.
Tabel
8. Hubungan
Struktur seri homolog ester asam para-hidroksibenzoat dengan nilai koefisien
partisi lemak/air dan aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus
Ester
PHB
|
Koefisien
Partisi
|
Koefisien Fenol
terhadap Staphylococcus aureus
|
Metil
|
1,2
|
2,6
|
Etil
|
3,4
|
7,1
|
n-Propil
|
13
|
15
|
Isopropil
|
7,3
|
13
|
Alil
|
7,6
|
12
|
n-Butil
|
17
|
37
|
Benzil
|
119
|
83
|
Dari Tabel 8 terlihat bahwa turunan isopropil dan alil
mempunyai koefisien fenol yang lebih rendah dibanding turunan n-propil, karena
adanya percabangan dan ikatan rangkap akan menurunkan nilai koefisien partisi
lemak/air, penembusan membran bakteri jadi menurun, sehingga aktivitas
antibakterinya juga menurun. Juga terlihat bahwa makin besar nilai koefisien
partisi lemak/air, makin meningkat aktivitas antibakteri senyawa, dan belum
mencapai keadaan optimum.
A.
HUBUNGAN
KOEFISIEN PARTISI DENGAN EFEK ANESTESI SISTEMIK
Koefisien
partisi pertama kali dihubungkan dengan aktivitas biologis, yaitu efek hipnotik
dan anestesi, obat-obat penekan sistem saraf pusat oleh Overton dan Meyer (1899).
Mereka memberikan tiga postulat yang berhubungan dengan efek
anestesi suatu senyawa, yang dikenal dengan teori lemak, sebagai berikut :
a.
Senyawa kimia yang reaktif dan mudah
larut dalam lemak, seperti eter, hidrokarbon dan hidrokarbon terhalogenasi,
dapat memberikan efek narkosis pada jaringan hidup sesuai dengan kemampuannya
untuk terdistribusi ke dalam jaringan sel.
b.
Efek terlihat jelas terutama pada sel-sel
yang banyak mengandung lemak, seperti sel saraf.
c. Efisiensi
anestesi atau hipnotik tergantung pada koefisien partisi lemak/air atau
distribusi senyawa dalam fasa lemak dan fasa air jaringan.
Dari
postulat di atas disimpulkan bahwa ada hubungan antara aktivitas anestesi
dengan koefisien partisi lemak/air. Teori lemak hanya mengemukakan afinitas
suatu senyawa terhadpa tempat aksi saja dan tidak menunjukkan bagaimana
mekanisme kerja biologisnya dan juga tidak dapat menjelaskan mengapa suatu
senyawa yang mempunyai koefisien partisi lemak/air tidak terlalu dapat
menimbulkan efek anestesi.
Teori
anestesi di atas kemudian dilengkapi dengan teori-teori anestesi sistemik lain,
yang berdasarkan sifat fisik yang lain yairu ukuran molekul (teori Wulf-Featherstone) dan pembentukan
mikrokristal (teori Pauling).
B.
PRINSIP
FERGUSON
Banyak
senyawa kimia dengan struktur berbeda tetapi mempunyai sifat fisik sama,
seperti ester, kloroform dan nitrogen oksida, dapat menimbulkan efek narkosis
atau anestesi sistemik. Hal ini menunjukkan bahwa sifat fisik lebih berperan
dibanding sifat kimia.
Dari
percobaan diketahui bahwa efek anestesi cepat terjadi dan dipertahankan pada
tingkat yang sama asalkan ada cadangan obat dalam cairan tubuh. Bila cadangan
tersebut habis maka efek anestesi segera berakhir. Hal tersebut menunjukkan
bahwa ada keseimbangan kadar obat pada fasa eksternal atau cairan luar sel dan
biofasa, yaitu fasa pada tempat aksi obat dalam organisme. Pada banyak senyawa
seri homolog aktivitas akan meningkat sesuai dengan kenaikan jumlah atom C.
Fuhner (1904),
mendapatkan bahwa untuk mencapai aktivitas sama, anggota seri homolog yang
lebih tinggi memerlukan kadar lebih rendah, sesuai persamaan deret ukur sebagai
berikut :
1/31, 1/32,
1/33, ......... 1/3n
Hal
tersebut terjadi pada seri homolog obat penekan sistem saraf pusat, seperti
turunan alkohol, keton, amin, ester, uretan dan hidrokarbon.
Perubahan
sifat fisik tertentu dari suatu seri homolog, seperti tekanan uap, kelarutan
dalam air, tegangan permukaan dan distribusi dalam pelarut yang saling tidak
campur, kadang-kadang juga sesuai dengan deret ukur.
Nilai
logaritma sifat-sifat fisik n-alkohol primer bila dihubungkan dengan jumlah
atom C ternyata memberikan hubungan yang linier dan hal ini dapat dilihat pada
Gambar 30.
Menurut
Ferguson, kadar molar toksik sangat
ditentukan oleh keseimbangan distribusi pada fasa-fasa yang heterogen, yaitu
fasa eksternal, yang kadar senyawanya dapat diukur, dan biofasa. Ferguson
menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu menentukan kadar obat dalam biofasa
atau reseptor karena pada keadaan kesetimbangan kecenderungan obat untuk
meninggalkan biofasa dan fasa eksternal adalah sama, walaupun kadar obat dalam
masing-masing fasa mungkin berbeda. Kecenderungan obat untuk meninggalkan fasa
disebut aktivitas termodinamik.
Untuk
menjelaskan kecenderungan obat dalam meninggalkan biofasa dan fasa eksternal,
derajat kejenuhan masing-masing fasa merupakan pendekatan yang cukup beralasan.
Keterangan :
1.
Kelarutan dalam
air (mol x 10-6/l)
2.
Kadar toksis
terhadap Bacillus typhosus (mol x 10-6/l)
3.
Kadar yang
diperlukan untuk menurunkan tegangan permukaan air menjadi 50 dynes/cm (mol x 10-6/l)
4.
Tekanan uap pada
25°C (mm x 104)
5.
Koefisien partisi
air/minyak biji kapas ( x 10-3)
Gambar
30. Hubungan
sifat-sifat n-alkohol primer dengan jumlah atom C.
Aktivitas
termodinamik (a) dari obat yang berupa gas atau uap dapat dihitung melalui
persamaan sebagai berikut :
a = Pt/Ps
Pt
: tekanan parsial senyawa dalam
larutan, yang diperlukan untuk menimbulkan efek biologis.
Ps
: tekanan uap jenuh senyawa.
Aktivitas
termodinamik (a) dari obat yang berupa larutan dapat dihitung melalui persamaan
sebagai berikut :
a
= St/So
St
: kadar molar senyawa yang
diperlukan untuk menimbulkan efek biologis.
So :
kelarutan senyawa.
Karena
harga Ps dan So tetap maka dimungkinkan untuk menentukan
dan mengamati perubahan Pt dan St. Bila senyawa memiliki
tekanan parsial tinggi atas kadar dalam fasa eksternal tinggi maka perbandingan
Pt/Ps ataun St/So besar, biasanya
berkisar antara 1-0,01, hal ini berarti bahwa senyawa didistribusikan ke
seluruh organisme tanpa diikat secara tetap dalam sel dan keseimbangan terjadi
pada fasa eksternal dan biofasa.
Demikian
pula sebaliknya bila perbandingan Pt/Ps ataun St/So
rendah, biasanya kurang dari 0,01, senyawa akan terikat pada reseptor
tertentu dalam sel organisme dan keseimbangan antara obat dan reseptor terjadi
pada sel atau di dalamnya.
Contoh
hubungan penghambatan enzim suksinat dehidrogenase oleh beberapa senyawa dengan
aktivitas termodinamik dapat dilihat pada Tabel 9.
Pada
Tabel 9 terlihat bahwa senyawa 1 sampai 4, menunjukkan aktivitas termodinamik
yang lebih besar dari 0,01, dan aktivitas biologis dihasilkan oleh sifat kimia
fisika tertentu dari senyawa dan struktur senyawa bersifat tidak spesifik.
Tabel
9. Penghambatan
enzim suksinat dehidrogenase dan aktivitas termodinamik
Senyawa
|
Kadar molar
yang menyebabkan penghambatan 50% masukan oksigen
|
Aktivitas
termodinamik
|
1.
Etiluretan
|
0,65
|
0,117
|
2.
Feniluretan
|
0,003
|
0,20
|
3.
Propionitril
|
0,48
|
0,24
|
4.
Valeronitril
|
0,08
|
0,36
|
5.
Vanilin
|
0,011
|
0,0002
|
Vanilin mempunyai nilai aktivitas termodinamik sangat rendah,
lebih kecil dari 0,01, dan diduga aktivitas biologisnya dihasilkan oleh
struktur kimia obat yang spesifik.
Berdasarkan model kerja farmakologisnya, secara umum obat
dibagi menjadi dua golongan yaitu senyawa berstruktur tidak spesifik dan
senyawa berstruktur spesifik.
1.
Senyawa
Berstruktur Tidak Spesifik
Senyawa
berstruktur tidak spesifik adalah senyawa dengan strutkur kimia bervariasi,
tidak berinteraksi dengan reseptor spesifik, dan aktivitas biologisnya tidak
secara langsung dipengaruhi oleh struktur kimia tetapi lebih dipengaruhi oleh
sifat-sifat kimia fisika, seperti derajat ionisasi, kelarutan, aktivitas
termodinamik, tegangan permukaan dan redoks potensial. Terlihat bahwa efek biologis
terjadi karena akumulasi obat pada daerah yang penting dari sel sehingga
menyebabkan ketidakteraturan rantai proses metabolisme.
Senyawa
berstruktur tidak spesifik menunjukkan aktivitas fisik dengan karakteristik
sebagai berikut :
a.
Efek biologis berhubungan langsung dengan
aktivitas termodinamik, dan memerlukan dosis yang relatif besar.
b.
Walaupun perbedaan struktur kimia besar,
asal aktivitas termodinamik hampir sama akan memberikan efek yang sama.
c.
Ada kesetimbangan kadar obat dalam
biofasa dan fasa eksternal.
d.
Bila terjadi kesetimbangan, aktivitas
termodinamik masing-masing fasa harus sama.
e.
Pengukuran aktivitas termodinamik pada
fasa eksternal juga mencerminkan aktivitas termodinamik biofasa.
f.
Senyawa dengan derajat kejenuhan sama,
mempunyai aktivitas termodinamik sama sehingga derajat efek biologis sama pula.
Oleh karena itu larutan jenuh dari senyawa dengan struktur yang berbeda dapat
memberikan efek biologis sama.
Contoh senyawa
berstruktur tidak spesifik :
1.
Obat anestesi sistemik yang berupa gas
atau uap, seperti etil klorida, asetilen, nitrogen oksida, eter dan kloroform.
Kadar isoanestesi bervariasi antara 0,05-100% sedang aktivitas termodinamik
variasinya berkisar antara 0,01-0,05, seperti terlihat pada Tabel 10.
2.
Insektisida yang mudah menguap dan bakterisida
tertentu seperti timol, fenol, kresol, n-alkohol dan resorsinol.
Contoh hubungan kadar
bakterisid dari beberapa insektisida yang mudah menguap terhadap Salmonella typhosa dengan aktivitas
termodinamik dapat dilihat pada Tabel 11. Pada Tabel 11 terlihat bahwa seri
homolog n-alkohol primer, kadar antibakteri dari metanol sampai oktanol
berkisar antara 10,8-0,0034 molar sedang aktivitas termodinamiknya berkisar
antara 0,33-0,88.
Tabel
10. Hubungan
kadar isoanestesi beberapa obat anestesi, yang berupa uap atau gas, dengan
aktivitas termodinamik, pada manusia (pada suhu 37°C)
Nama Gas/Uap
|
P uap (Ps) mm.
|
Kadar Anestesi (% vol)
|
P parsial (Pt) mm.
|
(a) (Pt/Ps)
|
Nitrogen
oksida
Etilen
Asetilen
Etil
klorida
Etil
eter
Vinil
klorida
Etil
bromida
Kloroform
|
59.300
49.500
51.700
1.780
830
760
725
324
|
100
80
65
5
5
4
1,9
0,5
|
760
610
495
38
38
30
14
4
|
0,01
0,01
0,01
0,02
0,05
0,01
0,02
0,01
|
Tabel
11. Hubungan
kadar bakterisid beberapa insektisida yang mudah menguap terhadap Salmonella typhosa dengan aktivitas termodinamik
Nama Obat
|
Kadar Bakterisid (St),
molar
|
Kelarutan (So) molar,
25°C
|
(a) (St/So)
|
Timol
Oktanol
o-Kresol
Fenol
Anilin
Sikloheksanol
Metilpropilketon
Metiletilketon
Butiraldehid
Propaldehid
Resorsinol
Aseton
Metanol
|
0,0022
0,0034
0,039
0,097
0,17
0,18
0,39
1,25
0,39
1,08
3,09
3,89
10,8
|
0,0057
0,004
0,23
0,90
0,40
0,38
0,70
3,13
0,51
2,88
6,08
-
-
|
0,38
0,88
0,17
0,11
0,44
0,47
0,56
0,40
0,76
0,37
0,54
0,40
0,33
|
Dengan membandingkan nilai St dan So dari
metanol dan oktanol dapat diketahui bahwa obat yang aktivitasnya tinggi
mempunyai kelarutan dalam air rendah atau kelarutan dalam lemak besar.
2. Senyawa
Berstruktur Spesifik
Senyawa berstruktur spesifik adalah senyawa
yang memberikan efeknya dengan mengikat reseptor atau aseptor yang spesifik.
Mekanisme kerjanya dapat melalui salah
satu cara berikut yaitu :
a.
Bekerja pada enzim, yaitu dengan cara
pengaktifan, penghambatan atau pengaktifan kembali enzim-enzim tubuh.
b.
Antagonis, yaitu antagonis kimia,
fungsional, farmakologis atau antagonis metabolik.
c.
Menekan fungsi gen, yaitu dengan
menghambat biosintesis asam nukleat atau sintesis protein.
d.
Bekerja pada membran, yaitu dengan
mengubah membran sel dan mempengaruhi sistem transpor membran sel.
Aktivitas
biologis senyawa berstruktur spesifik tidak tergantung pada aktivitas
termodinamik, nilai a lebih kecil dari 0,01, tetapi lebih tergantung pada
struktur kimia yang spesifik.
Kereaktifan
kimia, bentuk, ukuran, dan pengaturan stereokimia molekul, distribusi gugus
fungsional, efek induksi dan resonansi, distribusi elektronik dan interaksi
dengan reseptor mempunyai peran yang menentukan untuk terjadinya aktivitas
biologis.
Senyawa
berstruktur spesifik mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a. Efektif
pada kadar yang rendah.
b. Melibatkan
kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal.
c. Melibatkan
ikatan-ikatan kimia yang lebih kuat dibanding ikatan pada senyawa yang
berstruktur tidak spesifik.
d. Pada
keadaan kesetimbangan aktivitas biiologisnya maksimal.
e. Sifat
fisik dan kimia sama-sama berperan dalam menentukan efek biologis.
f.
Secara umum mempunyai struktur dasar
karakteristik yang bertanggung jawab terhadap efek biologis senyawa analog.
g. Sedikit
perubahan struktur dapat mempengaruhi secara drastis aktivitas biologis obat.
Contoh obat berstruktur spesifik antara lain : analgesik
(morfin), antihistamin (difenhidramin), diuretika penghambat monoamin oksidase
(asetazolamid) dan β-adrenergik (salbutamol).
Pada senyawa
berstruktur spesifik sedikit perubahan struktur kimia dapat berpengaruh
terhadap aktivitas biologisnya.
Contoh :
1.
Senyawa
Kolinergik
2.
Turunan
feniletilamin
3.
Obat
antikanker turunan pirimidin
Perbedaan
antara senyawa berstruktur spesifik dan non spesifik tidak cukup dipandang dari
satu atau dua perbedaan karakteristik senyawa tetapi harus dipandang sifat atau
karakteristik secara keseluruhan.
Sering
pada obat tertentu tidak mempunyai struktur yang mirip tetapi menunjukkan efek
farmakologis yang sama, dan perubahan sedikit struktur tidak mempengaruhi efek.
Sebagai
contoh adalah obat diuretik yang mempunyai struktur kimia sangat bervariasi,
contoh turunan merkuri organik, turunan sulfamid, turunan tiazid, dan
spironolakton. Sedikit modifikasi struktur tidak mempengaruhi aktivitas
diuretikdari masing-masing turunan. Ini merupakan salah satu karakteristik dari
senyawa berstruktur tidak spesifik, padahal kenyataannya obat diuretik termasuk
golongan senyawa berstruktur spesifik. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa obat
diuretik menghasilkan respons farmakologis yang sama tetapi masing-masing turunan
mempengaruhi proses biokimia yang berbeda, jadi mekanisme aksinya berbeda.
Turunan merkuri organik,
seperti klormerodrin, bekerja
sebagai diuretik dengan mengikat gugus SH enzim Na, K-dependent ATP-ase,
yang bertanggung jawab terhadap produksi energi yang diperlukan untuk
reabsorpsi Na di membran tubulus, turunan sulfamid, seperti asetazolamid, bekerja dengan menghambat
enzim karbonik anhidrase, turunan tiazid, seperti hidriklorotiazid, menghambat reabsorpsi Na di tubulus ginjal, dan spironolakton bekerja sebagai
antagonisaldosteron, senyawa yang mengatur keseimbangan elektrolit dalam tubuh.
Fenomena di atas menunjang pengertian bahwa mekanisme aksi
obat pada tingkat molekul dapat melalui beberapa jalan, dan ini memberi
penjelasan mengapa obat dengan tipe struktur berbeda dapat menunjukkan respons
farmakologis yang sama. Sebenarnya sulit memisahkan antara senyawa berstruktur
tidak spesifik dan spesifik karena banyak senyawa yang berstruktur spesifik, seperti
antibiotika turunan penisilin, tidak berinteraksi secara spesifik dengan
reseptor pada tubuh manusia, tetapi berinteraksi dengan reseptor spesifik yang
terlibat pada proses pembentukan dinding sel bakteri. Jadi aktivitas
antibakterinya terutama ditentukan oleh sifat kimia fisika seperti sifat
lipofilik dan elektronik yang berperan pada proses distribusi obat sehingga
senyawa dapat mencapai jaringan target dengan kadar yang cukup besar.
Daftar Pustaka
Siswandono dan Bambang,
S. 2000. Kimia Medisinal. Airlangga University Press: Surabaya.